By : Mujaadila Aulya AQA



        Aku benci sensasi ketika tubuhku menegang, benci sensasi ketika wajahku akan berubah menjadi merah, benci ketika amarahku menggumpal menjadi hal yang tidak bisa aku tahan. Aku benci bagaimana aku menjadi begitu pencemburu. Kecemburuanku adalah kelemahanku. Dan aku tak pernah suka jika aku dibuat cemburu oleh suatu hal- 

        " Kau tau dengan jelas, " 

        Aku berteriak pagi itu, Sudah ku pastikan wajahku memerah seolah ingin meledak. Mati-matian ku tahan tangis yang memaksa tuk keluar.

         " Kau tentu paham, bahwa aku tak pernah suka dibuat cemburu. Kau tentu tau dengan jelas, bagaimana aku begitu membenci kedekatan mu dengan wanita jalang yang kau panggil temanmu, " Lagi-lagi aku berteriak, hingga tenggorokanku terasa sedikit sakit karna kebanyakan berteriak. Ku tatap ia dengan tatapan nyalang, tetapi hanya dibalas diam olehnya. 

            " Selama ini aku kurang apa ? Apa aku tak cukup? Kenapa kau justru membuatku seperti ini? " Tangisku pun pecah pagi itu, tapi lagi-lagi lelaki brengsek itu tak menjawab. Aku jenuh, bosan, kesal, marah ketika amarahku dibalas keterdiamannya. 

         Kenapa tak menjawab? Kenapa amarahku tak ia balas dengan peluk menenangkan miliknya? Air mataku pun luruh, tubuhku lunglai ketika lagi lagi air mataku tak justru membuat nya iba. Nyeri sekali rasanya. Apa kau tak mencintaku lagii? Batinku menyesak.

         " Kau tak menyayangiku lagi hmm? " Ujarku lirih, ku tatap ia yang duduk tenang dikursinya. Dia diam tak bergerak, tak ada satupun kata yang keluar dari belahan bibirnya.

         " Kenapa tak menjawab sayang? Tembakan pistol tadi tak mungkin membuatmu tak bisa berbicara kan? " 

         Ah sepertinya aku lupa- Kau tak mungkin mati kan?


Fin-